Celotehan UKM, Leadership & Team Building, Sufipreneur, Wanita & Bisnis

Deep Inner Journey (Pencerahan di Pertapaan Sertifikasi Coaching)

Saya membaca kembali lembaran catatan materi dan sesi coaching yang baru saja diselesaikan. Teringat setahun berlalu menyelesaikan The Art & Science of Coaching (TASC) Modul 1 & 2 di Vanaya Institute dan jatuh hati pada metode coaching ini. Kecintaan Saya terhadap People Development seperti mendapatkan jalan yang memudahkan dan memanusiakan. Humanize the Human, begitu nama angkatan kami selepas menyelesaikan modul tersebut. Berkumpul dengan para kakak-kakak coach dalam satu perjalanan puluhan jam (8 hari), menemukan berbagai Eureka jiwa…

Coaching Ericksonian sebagai sebuah metode yang memberdayakan dilandasi spirit menghargai manusia dan percaya atas keberdayaannya… Tanpa prasangka, penghakiman, memerintah melainkan menggunakan pertanyaan yang menggugah…

Coach berperan layaknya seorang kawan yang menemani diri yang kelaparan, berjalan menuju lumbung penuh padi yang selama ini tak disadari.

Hati terpesona pada sosok Coach Lyra, kecerdasan dan ketenangannya dalam menyampaikan materi sungguh memerdekakan dan ramah otak.  Materi yang sedemikian menantang menjadi jelas dan mudah dicerna…

Rasa cinta ini dilanjutkan setelah setahun berlalu dengan mengikuti modul 3 & 4 yang baru saja kami tuntaskan…

Perasaan deg-degan sudah muncul duluan karena modul ini kabarnya akan benar-benar berfokus pada Values. Dannn… setahun belakangan terasa sedang kehilangan values dan terlalu tenggelam dalam rutinitas…

Benar adanya… Hari pertama, seperti memasuki sesi rawat inap jiwa… Demikian seterusnya… Lelahnya bukan main… Lelah karena sedang terjadi perjalanan panjang dan mendalam terhadap diri sendiri…

Setiap teman menjadi cermin… Setiap percakapan menjadi speaker dari jiwa sendiri yang selama ini sudah berteriak namun sering mendapat pengabaian…

Saya sungguh beruntung… Allah SWT kumpulkan bersama orang-orang yang luar biasa dari berbagai perusahaan dan ahli dalam people developmentnamun tak seorang pun yang memakai topeng…

Nuansa humble dan learner sangat kental terasa… Ini yang membuat belajar di Vanaya itu ngangeni.Setiap jiwa punya kisahnya masing-masing… Tampil genuine dan tulus…

Modul 3 dan 4 tak lagi bicara tools semata. Torehan Artyang indah menjadi perjalanan hati… And, Yesss…. People are Ok and resourceful.Perjalanan pengenalan diri yang mengesankan dan semakin menghamba pada Tuhan…

Kakak-kakak dan teman-teman, Saya sungguh menyayangi kalian semua…Terimakasih telah menjadi teman seperjalanan yang mengesankan…

EPC (Ericksonian Professional Coach) bukanlah akhir dan tujuan, pengalaman dan berbagai Values indah yang ditemukan inilah yang menjadi nafas setiap kita untuk melayani Allah SWT…

Kakak Coaches Vanaya, terimakasih telah sabar membantu kami semakin halus…

Coaching bukanlah toolsCoaching adalah nafas yang hendaknya dihembuskan dan dihirup untuk meneruskan kehidupan dalam iman terbaik dan menghidupi segala titipan dari Sang Maha Pemberi Kehidupan…

Salam Keep Going

Celotehan UKM, Wanita & Bisnis

MENDADAK JADI DIREKTUR (CEO) (Catatan Autokritik)

“Bukalah usaha, maka di kartu nama kamulah Direkturnya”

Sebuah kalimat yang memotivasi untuk segera memulai usaha lalu tenggelam dalam ilusi.

 

Sang Direktur ini tiba-tiba merasa super keceh, berbagi tips motivasi ke sana kemari, tumbuh candu yang berbungkus nafsu “ingin berbagi”.

Lalu lupa melihat dapur sendiri yang centang-prenang, tim yang kehilangan panduan dan konsumen yang datang karena kebetulan (Luck factor)

 

Belum lagi ketika ditelisik, jangankan jadi Direktur, memiliki kompetensi di level supervisor saja pun belum memadai.

Begitulah tipuan panggung dan euphoriamenjadi Direktur dadakan.

 

“Tapi kan manggung juga perlu, untuk bangun personal branding…” – justifikasi berikutnya.

 

Masih banyak lagi miskonsepsi yang bertebaran di seputar sepak terjang kehidupan direktur dadakan ini…

Mendadak “coach”, mendadak jadi Pembina tanpa sadar bahwa apa yang dibangunnya masih berdiri di pondasi keropos menunggu binasa… (sibuk membina lalu binasa)

 

“Belajar saja dulu, didik diri sendiri, nanti ada masanya mengajari orang lain”

(pernyataan yang mencubit hati dari seorang pelatih dan implementator)

Proses “down-grade” diri dari Director (wanna be) menjadi Supervisor

 

Yuppp….

Ini adalah sebuah tulisan reflektif yang sebetulnya untuk “menampar” diri sendiri…

Catatan yang beranjak dari rasa malu terhadap diri sendiri ini dimulai ketika duduk di kelas Pak Armala bulan Maret lalu.

 

Seperti menemukan ‘big missing puzzle” yang selama ini dicari. “Direktur (wanna be) ini tak perlu lagi dimotivasi dan ditanya maunya “apa” ?

“Apa”-nya sudah terlalu banyak dan tinggi. Tapi berbagai upaya dilakukan berlari meraih “apa”, faktanya masih jauh panggang dari api…

Kembali memperbaiki input & proses

Jelas mau “apa”

Jelas “kenapa”

Tapi tak tahu “cara”…

Mengharapkan Output, dengan input dan proses yang ngawur…

Ah, Gila… (kata Einstein)

 

Rasanya…

Setiap direktur (wanna be) ini pastinya punya cita-cita mulia… Mengambil peran untuk bisa berbuat sesuatu untuk menjadi legasi dan dipetik di alam sana nanti…

Berkontribusi nyata pada Negara, namun lupa bahwa kontribusi itu tak bisa menjadi nyata dengan naik turun “panggung”.

 

So, Amazing…

Ada sebuah kategori baru dalam mendampingi direktur (wanna be) meraih “apa”. Pak Armala melatih “HOW TO”dengan paparan yang sangat detail, best practice.

Pengalaman Beliau memberesi detail kekusutan berbagai perusahaan dan membawanya menjadi perusahaan kelas dunia bisa dipelajari dan diimplementasikan tak hanya oleh Direktur namun juga para tim.

Meski tak semua Direktur (wanna be) menyambut dan mengeksekusi ini apa yang Beliau paparkan.

Instant mentality  dan berlama-lama kasmaran dengan mimpi sepertinya menjadi racun diri…

“Ah…. Lagi over exited tuh sama pak Armala”

Hey…

Kebetulan Saya memang always super excited setiap kali menemukan pencerahan baru. Memilih dan menjalankan peran ini seperti memasuki lorong panjang yang gelap…

Never Ending Improvement

 

Well, Entrepreneurs (wanna be)…

Masuklah ke kamar mandi, cek semua produk yang ada di dalamnya. Lalu coba sebutkan siapa pemilik perusahaan dari produk-produk tersebut ?

Berapa kali mereka manggung setahun ketika bisnis mereka baru seumur jagung dan sizekecil biji jagung ?

 

Trully entrepreneurs  bekerja di jalan sepi, suksesnya dicari bukan menawarkan diri… Sepertinya malu hati, karena di atas langit masih ada langit…

 

——

Catatan ini untuk renungan diri sendiri…

InsyaAllah para pembaca bisa memahami konteks, bukan sekedar membaca konten

Leadership & Team Building, Sufipreneur

UKM, Tak Sekedar Membuka Lapangan Pekerjaan (Menjadi Madrasah Bagi Semesta)

 

Setiap kali diberi kesempatan berbagi kepada teman-teman UKM selalu berupaya menyalakan kesadaran akan tujuan memilih peran yang sama-sama dijalankan ini. Bahwa memiliki usaha telepas dari apapun bidang dan kontennya, sejatinya adalah bentuk upaya kita menjadi bagian dari solusi untuk membuat Indonesia lebih baik lagi.

Salah satu peran penting dari UKM adalah mendidik tim yang ada di bisnis masing-masing. Keberadaan mereka bukanlah sekedar membantu pekerjaan manajerial maupun operasional semata. Sejatinya mereka adalah Amanah dari Allah untuk dididik dan belajar di bisnis kita.

Tentu sudah menjadi lagu lama dan sangat menantang menemukan tim yang tepat. Seringnya justru yang dijumpai adalah calon tim yang meminta gaji tinggi namun lemah kompetensi diri. Namun hal ini rasanya tak perlu lagi menjadi keluhan, kenapa tidak mengambil peran lebih, meyalakan ‘lilin’. Menyadarkan diri sendiri bahwa usaha yang kita kelola adalah madrasah nyata bagi mereka.

 

Kesadaran yang berbeda akan melahirkan perilaku yang berbeda pula.

Jika melihat mereka sebagai orang yang diupah, maka yang diminta adalah tuntutan atas kualitas dan jam kerja saja. Berbeda jika melihat mereka sebagai ‘anak didik’ kita, maka setiap pemilik usaha adalah ‘guru’ bagi tim yang bekerja. Dengan sengaja mendidik mereka, mendampinginya menaiki satu per satu tangga kompetensi diri tanpa kehilangan semangat diri. Sesederhana membekali dengan pelatihan, menyediakan ruang mentoring bahkan coaching. Tak perlu modul-modul tebal dengan bahasa yang sulit dan rumit, cukup dengan kalimat sederhana dan tepat guna.

 

Biasanya sebagian usaha sudah memiliki tools bernama SOP maupun KPI. Sudahkah tim paham apa tujuan disediakannya tools tersebut ataukah mereka masih merasa bahwa itu adalah beban yang perlu dituruti dan dipenuhi tanpa tahu mengapa…?

Jika dahulu KPI adalah alat untuk ‘menakut-nakuti’ tim, memotong hak karena mereka tidak mencapai target, atau alat iming-iming bagi yang dianggap mampu menghasilkan sesuatu, maka sudah saatnya pelaku UKM menggunakan alat ini dengan cara yang memanusiakan manusia.

Tak sekedar menilai dengan angka-angka melainkan menjadikan angka-angka tersebut sebagai alat untuk menapaki ruang-ruang perbaikan diri tanpa henti. Pertanyaannya bukan lagi “Koq bisa begini..?” melainkan “Apalagi yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki diri…?”.

Menjadi madrasah bagi setiap diri yang mendedikasikan waktu dan tenaganya di bisnis kita. Tak perlu merasa rugi atau takut ditinggalkan begitu mereka sudah pintar nanti… Bukankah di kehidupan nanti sangat banyak kebaikan yang akan dipetik dari setiap perbuatan baik yang telah dilakukan untuk mereka…?

 

Jika sikap mental kita adalah bersedia menjadi guru, maka tak ada ruang ketakutan “nanti mereka malah jadi pesaing kita”. Mana ada guru yang terintimidasi dengan kepintaran anak didiknya…?

 

Jika kesadaran ini menjadi kesadaran bersama, bukankah hal ini dapat membawa mereka menjadi sumberdaya Indonesia yang lebih berkompetensi, karena belajar langsung dari kehidupan nyata…? Kompetensi yang seringnya tak mereka dapatkan di bangku sekolah bahkan kuliah…

 

Selamat menjadi ‘Relawan Pendidik’ bagi setiap tim yang bekerja di tempat kita. InsyaAllah ini menjadi langkah nyata dalam perbaikan Indonesia, pengabdian nyata sebagai anak bangsa tanpa perlu menunggu kaya raya berlimpah harta benda. Perbaikan kompetensi diri mereka adalah harta kita yang sesungguhnya…

Kepada teman-teman UKM sering saya berbagi bahwa :

KPI pribadi diri Saya adalah melihat satu per satu tim saya menaiki tangga demi tangga kompetensi diri. Meski ada yang merasa terbebani bahkan terintimidasi, itu tak membuat saya patah hati. Bagi jasad yang sakit, makanan enak memang terasa pahit. Tugas saya pula membantu mereka ‘sembuh’, sampai perbaikan diri terasa kebutuhan, bukan lagi beban”.

 

Membesarnya bisnis, bertambahnya cabang dan berbagai bentuk pencapaian lainnya hanyalah dampak. Tujuan sejatinya bukan di sana, melainkan memanusiakan manusia, membuat mereka berdaya untuk berkarya…

Selamat Hari Relawan Internasional

Sufipreneur

Takut Jika Usaha Ditiru Pesaing…?

Beberapa waktu lalu seorang teman bertanya, apakah kami tidak takut ditiru oleh pesaing, apakah tidak takut jika tim dibajak pesaing, bagaimana jika pesaing juga mengikuti pelatihan yang sama atau mencari ‘suplier’ yang sama…?

Pertanyaan ini muncul karena kami aktif mempublikasikan aktifitas keseharian, termasuk training-training yang diikuti oleh tim kami.

Ini pertanyaan yang menarik bagi Saya. Menarik karena Saya mencoba mencari penyebab kekhawatiran di balik pertanyaan itu.

Ada sebuah quote yang mencerahkan dan turut Saya yakini :

“There’s nothing new under the sun”.

Jadi, tidak ada yang benar-benar berbeda ataupun unik di muka bumi ini. Manusia setiap harinya mendengar dan melihat lalu terinspirasi jika ia meneruskan berpikir mendalam dari input yang ia dapat.

 

Ada baiknya kita merenung sedikit bahwa sejatinya usaha/ bisnis yang kita jalankan itu hanyalah ‘kendaraan’ untuk menuju ke suatu tempat/ visi/ impian. Menjadi sulit jika Visi ini belum dimiliki. Lalu apa yang dilakukan sehari-hari, hendak ke mana kendaraan ini dibawa…?

Ketidakjelasan akan visi seringnya memunculkan kegalauan dan ketidakjelasan setiap tindakan dalam mengelola usaha, akhirnya ikut-ikutan, serba apa adanya atau terlalu reaktif merespon perubahan.

Selain penting memilih tujuan, penting untuk memilih cara agar sampai ke tujuan itu. Karena cara menjadi pembeda dan warna dari cara-cara yang dipilih itu ditentukan oleh Values yang dipilih secara sadar dan sengaja.

 

Konkritnya, ketika kami di TK Alifa Kids memimpikan bahwa sekolah ini menjadi pusat tumbuhnya karakter baik dalam diri anak + tim + orang tua, maka kami memilih cara mendidik dengan kasih sayang agar karakter itu tumbuh. Inilah cara yang kami yakini.

Cara ini diwarnai oleh nilai-nilai A.L.I.F.A yang juga kami pilih dengan sadar. Salah satu valuenya adalah Amanah yang kami terjemahkan sebagai pribadi yang mampu selaras antara pikiran, ucapan dan perbuatan. Nilai-nilai ini mengikat seluruh ‘warga’ yang ada di Alifa Kids, bahkan hingga kepada suplier. Ini yang membuat kami “memilih”.

 

Kembali kepada kekhawatiran di atas tadi.

Kami meyakini bahwa zaman sudah berubah, semangat berkompetisi sangat tidak relevan di abad ini dan kedepannya. Diperlukan semangat berkolaborasi. Spirit kolaborasi memerlukan kecerdasan emosi dan mental. Sulit jika mudah baperan, buruk sangka dan sejenisnya.

Kolaborasi didasari atas kesadaran bahwa kita tak bisa sendiri mengelola dunia ini. Jiwa yang greedy nyaris tak ada tempat di abad ini. Tak lagi ada rahasia-rahasia dapur. Kita sudah dimanjakan dan difasilitasi oleh setumpukan informasi. “Googling saja”, menjadi solusi mudah yang kerap kita ucapkan. Tentunya ada konsekuensi lain, perlu cerdas pula dalam menyaring informasi, karena Google bukanlah sumber yang Maha Benar.

 

Selain perlu semangat kolaborasi, pelaku usaha terutama UKM perlu berpikir jernih bahwa tanggungjawab kita bukanlah untuk memperkaya diri, melainkan membagi kebaikan seluas mungkin. Termasuk kepada khalayak yang di sana juga ada kompetitor kita.

Kami percaya bahwa anak-anak perlu dididik oleh pendidik yang terdidik, sehingga bagi kami saat mempublikasikan apa-apa saja yang kami lakukan, pelajari dan dari mana saja sumber belajar kami merupakan bagian dari semangat untuk mengkampanyekan bahwa “keterlaluan jika guru hanya mengajar namun enggan belajar”.

Kami ingin semua mata terbuka, semua akal berpikir bahwa kita sedang dititipi amanah yang perlu diurus sebaik-baiknya. Bisnis yang hanya berpikir uang dan uang tak ubahnya dengan zombie, hidup namun mati jiwanya…

Demikian pula jika kita memiliki usaha makanan misalnya, yang peduli terhadap isu kesehatan. Daripada ingin tampil beda sendiri lebih baik ajak usaha sejenis untuk juga peduli pada hal yang sama. Karena mendidik konsumen jika dilakukan sendiri adalah kerja berat.

Seperti halnya ketika kebanyakan sekolah usia dini di tempat kami hanya fokus pada Calistung, kerja besar yang kami lakukan adalah memberi pemahaman kepada ortu bahwa ‘zholim’ jika anak dipaksa-paksa Calistung. Semua pencapaian perlu tahapan dan proses yang benar, bukan dikarbit.

Alangkah menyenangkan jika konsumen paham, kompetitor dan calon karyawan juga paham dan setuju dengan nilai-nilai yang kita suarakan… Akhirnya bisnis kita berada di lingkungan (ekosistem) yang cerdas.

 

Lalu… Apa donk yang jadi pembeda ?

Katanya jangan bersaing jika tidak ada beda dengan pesaing…

Saya meyakini bahwa konsistensi dan persisten adalah PEMBEDA yang hebat. Meskipun banyak yang menginginkan dan menuju ke arah perbaikan namun tidak semua pihak mampu konsisten dan bersungguh-sungguh. Karena mengejar angka-angka jauh lebih menggoda. Membangun usaha di atas pondasi yang rapuh jauh lebih diminati karena mungkin harapannya adalah asalkan keliatan bangunan yang sudah menjulang dan menunggu tepuk tangan dari orang banyak.

Saya memilih tumbuh kokoh ke dalam ketimbang sekedar menjulang ke atas namun rapuh. Karena sejatinya bisnis hanyalah kendaraan untuk memperjuangkan nilai-nilai kebaikan yang diyakini.

Karyawan (tim) yang mendapatkan kejelasan visi dari tempatnya bekerja tak akan mudah tergoda dengan ajakan pihak lain, kecuali jika jiwanya memang sekedar berpetualang ala kutu loncat. Mustahil jika jiwa yang berpikir akan menolak saat diajak menjadi diri yang indah dari hari ke hari.

Pertanyaannya, apakah kita sudah memiliki ajakan yang membuat manusia di dalamnya menjadi berarti ataukah sekedar menjadikan mereka mesin di bisnis kita….?

Bagi kami tentunya akan sangat menggembirakan jika di luar sana lembaga pendidikan juga menyuarakan nilai-nilai yang sama. Sepakat mendidik para pendidiknya secara konsisten. Karena kendala yang sering kami temui saat merekrut tim baru adalah perbedaan kualitas dan budaya yang mereka bawa. Masih jauh di bawah spirit mendidik yang menumbuhkan. Guru masih menjadi ‘boss’ dalam mendidik, dan ini tantangan besar.

Saya yakin di usaha yang teman-teman kelola juga demikian.

 

Perihal pentingnya value ini bisa teman-teman baca dalam tulisan saya sebelumnya :

http://rahmisalviviani.com/2017/01/03/penghalang-ukm-bertumbuh/

 

Sebagai penutup, kita perlu setuju untuk membagi “tugas” dengan Tuhan. Manusia hanya berupaya maksimal, segala bentuk hasil sepenuhnya prerogatifNya. Rejeki memang sudah berbeda-beda. Tak satupun hasil yang diperoleh hari ini adalah hasil karya kita. Jika Allah tak berkehendak, tak satupun mampu kita raih… Perbesar saja lingkar ikhtiar, di sini Allah sematkan pahala-pahala yang kita perlukan, agar usia tak terbuang sia-sia.

Celotehan UKM

Penghalang UKM Bertumbuh

Aih, kembali bisa berceloteh…

Iya, ini memang celotehan aja sih… 🙂

Pernah mendengar soal Value/ Nilai/ Budaya perusahaan (organisasi) kan yha…?

Pada punya ini ga…? Lalu seluruh warga di organisasi tersebut pada paham dan sejalan ga…?

Karyawan/ tim yang kesehariannya ga sejalan dengan value perusahaan, baik itu di tempat kerja ataupun di luar pekerjaan, sejatinya sedang berperan sebagai orang yang sekedar numpang hidup di perusahaan itu loh…

Ya sekedar biar bisa menghasilkan uang, mengisi waktu atau supaya ga dianggap pengangguran.

Lalu, pentingkah untuk setiap pimpinan ataupun owner untuk memastikan budaya perusahaan itu menjadi the way of life nya seluruh tim..?

Penting ga penting sih…

Penting bagi owner yang percaya bahwa tanggungjawabnya bukan sekedar memastikan omset dan profit naik. Tapi juga memastikan manusia di dalamnya bertumbuh (termasuk dirinya sendiri)

Ga penting, bagi owner yang memang menganggap tim sebagai objek, sebagai mesin, robot atau buruh. Dia hanya memandang :

“yang penting kerjaan tu orang beres, hidup dia mau seperti apa ya ga urusan saya lah”

Owner tipe abai begini bolehlah disebut sebagai owner era revolusi industri. Orang yang hanya mementingkan produktifitas, yang penting SOP (kaku dan membosankan) itu dipatuhi. Memandang karyawan sebagai buruh yang melinting rokok. Dalam kurun waktu tertentu mesti selesai sesuai angka yang ditetapkan perusahaan.

Parahnya lagi, owner ala revolusi industri ini mengandalkan motivasi ekstrinsik untuk menaikan produktifitas dan menertibkan karyawannya. Hubungan kerjanya sebatas “JIKA – MAKA”. Transaksional aja.

“Jika kamu kerja 10, itu memang tanggungjawabmu, jika lebih dari 10 maka kamu dapatkan bonus”.

Karyawan hidup dalam iming-iming ataupun punishment.

Serba jika – maka.

Jadul banget ini…

Jaman revolusi industri sih cocok kerja begini. Karena fokusnya memang berproduksi bukan berkreasi. Karyawan pun mau aja menerima situasi ini. Ya, lama-lama diiming-imingi memang mematikan motivasi internal…

Sudah seperti orang yang kecanduan…

Mirip-mirip dengan perlakuan orang tua yang suka mengiming-imingi anak :

“Kalau kamu ranking 1, nanti papa/mama belikan mainan”.

Kasian yha…

Balik ke persoalan budaya perusahaan.

Bagi owner yang hidup selaras dengan zaman kreatif saat ini, ga akan rela jika timnya bekerja ala robot atau ala buruh kasar, tak peduli di level mana pun si tim itu. Owner akan berupaya keras dan konsisten menumbuhkan timnya agar nyala kompetensi problem solver (kreatif) dalam diri tim tersebut. Lelah loh jika terus-terusan bekerja ala tom & jerry (walaupun lucu untuk dijadikan tontonan).

Perusahaan akan ‘hidup’ jika manusia-manusianya hidup dan termanusiakan. Tapi memang ini ga mudah, jauh lebih mudah untuk bikin sistem termonitor ala robot gitu (eh, kabarnya robot juga udah ada yang bisa berempati). Menumbuhkan mensyaratkan cara-cara yang bertolak belakang dengan cara kebanyakan.

Punish dan reward ga berlaku, yang berlaku adalah konsekuensi dan dukungan. Bukan iming-iming seperti kita memperlakukan kucing yang dikasi lihat ikan asin. Kasian jika yang aktif hanya animal brain nya aja. Lets help human as a human.

Kan ga mau yha kalo nanti ditanya “apa yang sudah kamu lakukan dengan perusahaanmu?”

lalu menjawab “Saya sudah berhasil menambah omset dan profit dengan cara merobotkan manusia”. Hiksss…

“Lah, jadi ga boleh nih menaikan omset dan profit?

Emang kita badan amal, badan sosial…???”

Rangga… Kamu jahat kalo hanya memandang manusia sebagai objek yang diperas.

Kita bisa banget mencapai tujuan bersama namun dengan cara-cara yang manusiawi, cara-cara yang jauh lebih sesuai jaman dan menjawab tantangan zaman. Ini zaman kreatif bukan zaman revolusi industri.

Saat bekerja dengan cara-cara yang lebih menumbuhkan, maka orang-orang yang ada di dalam sana akan jauh lebih berperan dan termotivasi secara internal. Mereka hidup, mereka sejalan dengan budaya perusahaan baik sedang berkantor ataupun di luar kantornya. Spirit perusahaan menjadi spirit bersama. Cita-citanya menjadi cita-cita bersama. Orang-orang yang ada di dalamnya bernuansa sama. Perhatian pada proses dan karya, bukan sekedar bekerja.

So, as a owner…

Jangan hanya melotot jika angka-angka tak tercapai… Tapi melotot dan ‘galau’ juga lah saat value/ budaya tim tidak sejalan dengan budaya di perusahaan. Di tempat kerja mendorong tumbuhnya kolaborasi, tapi hari-hari status facebook tim malah alergi dengan yang berbeda darinya.

Budaya perusahaan mendorong niai-nilai integritas, tapi masih hobi mencari insentif lainnya dengan cara-cara yang rela menandatangani sejumlah 10 walau yang diterima hanya 8.

“Ga apa-apa deh, yang penting dapat tambahan”. Rela uang begituan dimakan…? Hiks…

Budaya perusahaan mendukung tumbuhkan kecerdasan diri, tapi status tim di sosmed banyak share-share hoax atau komentarin berita dari headline semata, alias malas baca.

Bro… Sist…

Kita bikin usaha tuh ga tau bisa ngurusin sampai kapan…

Tetiba kena time out… rela perusahaannya diurusin sama jiwa-jiwa yang menjalani dualisme kehidupan begitu…?

Yuk, ambil peran sebagai “orang tua” yang mendidik dan menumbuhkan tim kita.

Mereka datang (dikirim Tuhan) kepada kita bukan karena sebuah kebetulan.

Itu juga amanah penting yang perlu diurus sungguh-sungguh…

Selamat mengarungi 2017 yang dikabarkan lumayan menantang. Budaya tangguh di perusahaan semakin diperlukan yha… UKM wajib bermimpi besar dan bekerja dengan standar perusahaan besar.

*SalamBerkarya

*KibasJilbab

======

Tips UKM

Leadership & Team Building

Pusing Karyawan Bertingkah? PECAT SAJA ?

Hari ini mendapat inspirasi yang bagus tentang respon owner sebuah usaha yang mendapat komplain konsumen yang kecewa dengan pelayanan karyawannya. Bahwa karyawan yang “bertingkah” tersebut sudah di-pe-cat… heheheheee…

Saya sedang membayangkan betapa sibuk bagian HRD (jika ada) yang bolak balik merekrut anggota baru dan memecat setiap kali ada yang bermasalah.

Solusinya terkesan instan sekali.

Continue Reading

Celotehan UKM

Bermimpi dengan Mata Terbuka

Melanjutkan tulisan beberapa hari lalu tentang “manusia yang utuh”.
Faktanya, banyak yang tak berani bermimpi namun banyak juga yang bermimpi besar tapi tak ‘bangun’ dari ‘tidur’nya.

Tak berani bermimpi boleh jadi karena belum merenungi kenapa ia sampai hadir di dunia ini. Boleh jadi karena saking sibuk dan termakan oleh rutinitas hingga tak punya waktu untuk ‘silent‘, mundur dan diam sejenak mencari arti dan tujuan hidupnya. Moga weekend ini menjadi moment untuk sedikit berdiam diri, mengaktifkan jiwa dan rasa : “apa yang saya cari, apa yang saya ingin lakukan selama hidup…?Continue Reading

Celotehan UKM, Sufipreneur

Manusia yang Utuh

Termenung saat mendapatkan sebuah pertanyaan dari seorang sahabat : “apa impian besar loe, vi?” (Impian yg nampak dan kasat mata)

Saya jawab : “Become the greatest inspiring woman from Asia 2025”

Sahabat saya kembali bertanya : “inspiring dalam hal apa..?”

Saya jawab : “as a woman : inspiring in family+business”

Teringat lagi sebuah sharing dari om Subiakto tentang “air kehidupan”…. Setiap orang memiliki warna airnya sendiri… Kita boleh berpindah peran tapi tak mengubah warna air kehidupan kita…

Continue Reading

Celotehan UKM

Ujian “Keimanan” bagi Pebisnis

Minggu lalu berkesempatan hadir di penjurian business plan kawan2 1in20 movement bersama pak Budi Satria Isman dan mas Yuszak M Yahya

Dari pemaparan, kritikan & masukan beliau2 terhadap bisnis kawan2 adalah :

FOKUS…. FOKUS…. FOKUS….

Fokus bisnisnya…. fokus produknya…

Beliau melihat tentunya dengan kacamata investor. Ya…. investor senang dgn bisnis yg Fokus dan Jelas alias ga banci…
Fokus dan ga “banci” owner…

Continue Reading

Celotehan UKM

Asah gergaji (menambah ilmu)

“Ahhhh…. kalo si Vivi mah ada orang gila jual obat juga dia beli, aneh dia emang !!!!”

=====
Demikian kira2 statement seseorang yg disampaikan ke bbrp orang teman… yak… dianggap aneh bahkan mgkn dianggap gila….
Tapi saya sangat2 menikmati pendapat ini, walau awalnya kesal juga… lama2 jadi bersyukur…

Continue Reading