Browsing Tag

Mengelola Karyawan

Leadership & Team Building, Sufipreneur

UKM, Tak Sekedar Membuka Lapangan Pekerjaan (Menjadi Madrasah Bagi Semesta)

 

Setiap kali diberi kesempatan berbagi kepada teman-teman UKM selalu berupaya menyalakan kesadaran akan tujuan memilih peran yang sama-sama dijalankan ini. Bahwa memiliki usaha telepas dari apapun bidang dan kontennya, sejatinya adalah bentuk upaya kita menjadi bagian dari solusi untuk membuat Indonesia lebih baik lagi.

Salah satu peran penting dari UKM adalah mendidik tim yang ada di bisnis masing-masing. Keberadaan mereka bukanlah sekedar membantu pekerjaan manajerial maupun operasional semata. Sejatinya mereka adalah Amanah dari Allah untuk dididik dan belajar di bisnis kita.

Tentu sudah menjadi lagu lama dan sangat menantang menemukan tim yang tepat. Seringnya justru yang dijumpai adalah calon tim yang meminta gaji tinggi namun lemah kompetensi diri. Namun hal ini rasanya tak perlu lagi menjadi keluhan, kenapa tidak mengambil peran lebih, meyalakan ‘lilin’. Menyadarkan diri sendiri bahwa usaha yang kita kelola adalah madrasah nyata bagi mereka.

 

Kesadaran yang berbeda akan melahirkan perilaku yang berbeda pula.

Jika melihat mereka sebagai orang yang diupah, maka yang diminta adalah tuntutan atas kualitas dan jam kerja saja. Berbeda jika melihat mereka sebagai ‘anak didik’ kita, maka setiap pemilik usaha adalah ‘guru’ bagi tim yang bekerja. Dengan sengaja mendidik mereka, mendampinginya menaiki satu per satu tangga kompetensi diri tanpa kehilangan semangat diri. Sesederhana membekali dengan pelatihan, menyediakan ruang mentoring bahkan coaching. Tak perlu modul-modul tebal dengan bahasa yang sulit dan rumit, cukup dengan kalimat sederhana dan tepat guna.

 

Biasanya sebagian usaha sudah memiliki tools bernama SOP maupun KPI. Sudahkah tim paham apa tujuan disediakannya tools tersebut ataukah mereka masih merasa bahwa itu adalah beban yang perlu dituruti dan dipenuhi tanpa tahu mengapa…?

Jika dahulu KPI adalah alat untuk ‘menakut-nakuti’ tim, memotong hak karena mereka tidak mencapai target, atau alat iming-iming bagi yang dianggap mampu menghasilkan sesuatu, maka sudah saatnya pelaku UKM menggunakan alat ini dengan cara yang memanusiakan manusia.

Tak sekedar menilai dengan angka-angka melainkan menjadikan angka-angka tersebut sebagai alat untuk menapaki ruang-ruang perbaikan diri tanpa henti. Pertanyaannya bukan lagi “Koq bisa begini..?” melainkan “Apalagi yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki diri…?”.

Menjadi madrasah bagi setiap diri yang mendedikasikan waktu dan tenaganya di bisnis kita. Tak perlu merasa rugi atau takut ditinggalkan begitu mereka sudah pintar nanti… Bukankah di kehidupan nanti sangat banyak kebaikan yang akan dipetik dari setiap perbuatan baik yang telah dilakukan untuk mereka…?

 

Jika sikap mental kita adalah bersedia menjadi guru, maka tak ada ruang ketakutan “nanti mereka malah jadi pesaing kita”. Mana ada guru yang terintimidasi dengan kepintaran anak didiknya…?

 

Jika kesadaran ini menjadi kesadaran bersama, bukankah hal ini dapat membawa mereka menjadi sumberdaya Indonesia yang lebih berkompetensi, karena belajar langsung dari kehidupan nyata…? Kompetensi yang seringnya tak mereka dapatkan di bangku sekolah bahkan kuliah…

 

Selamat menjadi ‘Relawan Pendidik’ bagi setiap tim yang bekerja di tempat kita. InsyaAllah ini menjadi langkah nyata dalam perbaikan Indonesia, pengabdian nyata sebagai anak bangsa tanpa perlu menunggu kaya raya berlimpah harta benda. Perbaikan kompetensi diri mereka adalah harta kita yang sesungguhnya…

Kepada teman-teman UKM sering saya berbagi bahwa :

KPI pribadi diri Saya adalah melihat satu per satu tim saya menaiki tangga demi tangga kompetensi diri. Meski ada yang merasa terbebani bahkan terintimidasi, itu tak membuat saya patah hati. Bagi jasad yang sakit, makanan enak memang terasa pahit. Tugas saya pula membantu mereka ‘sembuh’, sampai perbaikan diri terasa kebutuhan, bukan lagi beban”.

 

Membesarnya bisnis, bertambahnya cabang dan berbagai bentuk pencapaian lainnya hanyalah dampak. Tujuan sejatinya bukan di sana, melainkan memanusiakan manusia, membuat mereka berdaya untuk berkarya…

Selamat Hari Relawan Internasional

Sufipreneur

Takut Jika Usaha Ditiru Pesaing…?

Beberapa waktu lalu seorang teman bertanya, apakah kami tidak takut ditiru oleh pesaing, apakah tidak takut jika tim dibajak pesaing, bagaimana jika pesaing juga mengikuti pelatihan yang sama atau mencari ‘suplier’ yang sama…?

Pertanyaan ini muncul karena kami aktif mempublikasikan aktifitas keseharian, termasuk training-training yang diikuti oleh tim kami.

Ini pertanyaan yang menarik bagi Saya. Menarik karena Saya mencoba mencari penyebab kekhawatiran di balik pertanyaan itu.

Ada sebuah quote yang mencerahkan dan turut Saya yakini :

“There’s nothing new under the sun”.

Jadi, tidak ada yang benar-benar berbeda ataupun unik di muka bumi ini. Manusia setiap harinya mendengar dan melihat lalu terinspirasi jika ia meneruskan berpikir mendalam dari input yang ia dapat.

 

Ada baiknya kita merenung sedikit bahwa sejatinya usaha/ bisnis yang kita jalankan itu hanyalah ‘kendaraan’ untuk menuju ke suatu tempat/ visi/ impian. Menjadi sulit jika Visi ini belum dimiliki. Lalu apa yang dilakukan sehari-hari, hendak ke mana kendaraan ini dibawa…?

Ketidakjelasan akan visi seringnya memunculkan kegalauan dan ketidakjelasan setiap tindakan dalam mengelola usaha, akhirnya ikut-ikutan, serba apa adanya atau terlalu reaktif merespon perubahan.

Selain penting memilih tujuan, penting untuk memilih cara agar sampai ke tujuan itu. Karena cara menjadi pembeda dan warna dari cara-cara yang dipilih itu ditentukan oleh Values yang dipilih secara sadar dan sengaja.

 

Konkritnya, ketika kami di TK Alifa Kids memimpikan bahwa sekolah ini menjadi pusat tumbuhnya karakter baik dalam diri anak + tim + orang tua, maka kami memilih cara mendidik dengan kasih sayang agar karakter itu tumbuh. Inilah cara yang kami yakini.

Cara ini diwarnai oleh nilai-nilai A.L.I.F.A yang juga kami pilih dengan sadar. Salah satu valuenya adalah Amanah yang kami terjemahkan sebagai pribadi yang mampu selaras antara pikiran, ucapan dan perbuatan. Nilai-nilai ini mengikat seluruh ‘warga’ yang ada di Alifa Kids, bahkan hingga kepada suplier. Ini yang membuat kami “memilih”.

 

Kembali kepada kekhawatiran di atas tadi.

Kami meyakini bahwa zaman sudah berubah, semangat berkompetisi sangat tidak relevan di abad ini dan kedepannya. Diperlukan semangat berkolaborasi. Spirit kolaborasi memerlukan kecerdasan emosi dan mental. Sulit jika mudah baperan, buruk sangka dan sejenisnya.

Kolaborasi didasari atas kesadaran bahwa kita tak bisa sendiri mengelola dunia ini. Jiwa yang greedy nyaris tak ada tempat di abad ini. Tak lagi ada rahasia-rahasia dapur. Kita sudah dimanjakan dan difasilitasi oleh setumpukan informasi. “Googling saja”, menjadi solusi mudah yang kerap kita ucapkan. Tentunya ada konsekuensi lain, perlu cerdas pula dalam menyaring informasi, karena Google bukanlah sumber yang Maha Benar.

 

Selain perlu semangat kolaborasi, pelaku usaha terutama UKM perlu berpikir jernih bahwa tanggungjawab kita bukanlah untuk memperkaya diri, melainkan membagi kebaikan seluas mungkin. Termasuk kepada khalayak yang di sana juga ada kompetitor kita.

Kami percaya bahwa anak-anak perlu dididik oleh pendidik yang terdidik, sehingga bagi kami saat mempublikasikan apa-apa saja yang kami lakukan, pelajari dan dari mana saja sumber belajar kami merupakan bagian dari semangat untuk mengkampanyekan bahwa “keterlaluan jika guru hanya mengajar namun enggan belajar”.

Kami ingin semua mata terbuka, semua akal berpikir bahwa kita sedang dititipi amanah yang perlu diurus sebaik-baiknya. Bisnis yang hanya berpikir uang dan uang tak ubahnya dengan zombie, hidup namun mati jiwanya…

Demikian pula jika kita memiliki usaha makanan misalnya, yang peduli terhadap isu kesehatan. Daripada ingin tampil beda sendiri lebih baik ajak usaha sejenis untuk juga peduli pada hal yang sama. Karena mendidik konsumen jika dilakukan sendiri adalah kerja berat.

Seperti halnya ketika kebanyakan sekolah usia dini di tempat kami hanya fokus pada Calistung, kerja besar yang kami lakukan adalah memberi pemahaman kepada ortu bahwa ‘zholim’ jika anak dipaksa-paksa Calistung. Semua pencapaian perlu tahapan dan proses yang benar, bukan dikarbit.

Alangkah menyenangkan jika konsumen paham, kompetitor dan calon karyawan juga paham dan setuju dengan nilai-nilai yang kita suarakan… Akhirnya bisnis kita berada di lingkungan (ekosistem) yang cerdas.

 

Lalu… Apa donk yang jadi pembeda ?

Katanya jangan bersaing jika tidak ada beda dengan pesaing…

Saya meyakini bahwa konsistensi dan persisten adalah PEMBEDA yang hebat. Meskipun banyak yang menginginkan dan menuju ke arah perbaikan namun tidak semua pihak mampu konsisten dan bersungguh-sungguh. Karena mengejar angka-angka jauh lebih menggoda. Membangun usaha di atas pondasi yang rapuh jauh lebih diminati karena mungkin harapannya adalah asalkan keliatan bangunan yang sudah menjulang dan menunggu tepuk tangan dari orang banyak.

Saya memilih tumbuh kokoh ke dalam ketimbang sekedar menjulang ke atas namun rapuh. Karena sejatinya bisnis hanyalah kendaraan untuk memperjuangkan nilai-nilai kebaikan yang diyakini.

Karyawan (tim) yang mendapatkan kejelasan visi dari tempatnya bekerja tak akan mudah tergoda dengan ajakan pihak lain, kecuali jika jiwanya memang sekedar berpetualang ala kutu loncat. Mustahil jika jiwa yang berpikir akan menolak saat diajak menjadi diri yang indah dari hari ke hari.

Pertanyaannya, apakah kita sudah memiliki ajakan yang membuat manusia di dalamnya menjadi berarti ataukah sekedar menjadikan mereka mesin di bisnis kita….?

Bagi kami tentunya akan sangat menggembirakan jika di luar sana lembaga pendidikan juga menyuarakan nilai-nilai yang sama. Sepakat mendidik para pendidiknya secara konsisten. Karena kendala yang sering kami temui saat merekrut tim baru adalah perbedaan kualitas dan budaya yang mereka bawa. Masih jauh di bawah spirit mendidik yang menumbuhkan. Guru masih menjadi ‘boss’ dalam mendidik, dan ini tantangan besar.

Saya yakin di usaha yang teman-teman kelola juga demikian.

 

Perihal pentingnya value ini bisa teman-teman baca dalam tulisan saya sebelumnya :

http://rahmisalviviani.com/2017/01/03/penghalang-ukm-bertumbuh/

 

Sebagai penutup, kita perlu setuju untuk membagi “tugas” dengan Tuhan. Manusia hanya berupaya maksimal, segala bentuk hasil sepenuhnya prerogatifNya. Rejeki memang sudah berbeda-beda. Tak satupun hasil yang diperoleh hari ini adalah hasil karya kita. Jika Allah tak berkehendak, tak satupun mampu kita raih… Perbesar saja lingkar ikhtiar, di sini Allah sematkan pahala-pahala yang kita perlukan, agar usia tak terbuang sia-sia.