Browsing Tag

UKM

Celotehan UKM, Wanita & Bisnis

MENDADAK JADI DIREKTUR (CEO) (Catatan Autokritik)

“Bukalah usaha, maka di kartu nama kamulah Direkturnya”

Sebuah kalimat yang memotivasi untuk segera memulai usaha lalu tenggelam dalam ilusi.

 

Sang Direktur ini tiba-tiba merasa super keceh, berbagi tips motivasi ke sana kemari, tumbuh candu yang berbungkus nafsu “ingin berbagi”.

Lalu lupa melihat dapur sendiri yang centang-prenang, tim yang kehilangan panduan dan konsumen yang datang karena kebetulan (Luck factor)

 

Belum lagi ketika ditelisik, jangankan jadi Direktur, memiliki kompetensi di level supervisor saja pun belum memadai.

Begitulah tipuan panggung dan euphoriamenjadi Direktur dadakan.

 

“Tapi kan manggung juga perlu, untuk bangun personal branding…” – justifikasi berikutnya.

 

Masih banyak lagi miskonsepsi yang bertebaran di seputar sepak terjang kehidupan direktur dadakan ini…

Mendadak “coach”, mendadak jadi Pembina tanpa sadar bahwa apa yang dibangunnya masih berdiri di pondasi keropos menunggu binasa… (sibuk membina lalu binasa)

 

“Belajar saja dulu, didik diri sendiri, nanti ada masanya mengajari orang lain”

(pernyataan yang mencubit hati dari seorang pelatih dan implementator)

Proses “down-grade” diri dari Director (wanna be) menjadi Supervisor

 

Yuppp….

Ini adalah sebuah tulisan reflektif yang sebetulnya untuk “menampar” diri sendiri…

Catatan yang beranjak dari rasa malu terhadap diri sendiri ini dimulai ketika duduk di kelas Pak Armala bulan Maret lalu.

 

Seperti menemukan ‘big missing puzzle” yang selama ini dicari. “Direktur (wanna be) ini tak perlu lagi dimotivasi dan ditanya maunya “apa” ?

“Apa”-nya sudah terlalu banyak dan tinggi. Tapi berbagai upaya dilakukan berlari meraih “apa”, faktanya masih jauh panggang dari api…

Kembali memperbaiki input & proses

Jelas mau “apa”

Jelas “kenapa”

Tapi tak tahu “cara”…

Mengharapkan Output, dengan input dan proses yang ngawur…

Ah, Gila… (kata Einstein)

 

Rasanya…

Setiap direktur (wanna be) ini pastinya punya cita-cita mulia… Mengambil peran untuk bisa berbuat sesuatu untuk menjadi legasi dan dipetik di alam sana nanti…

Berkontribusi nyata pada Negara, namun lupa bahwa kontribusi itu tak bisa menjadi nyata dengan naik turun “panggung”.

 

So, Amazing…

Ada sebuah kategori baru dalam mendampingi direktur (wanna be) meraih “apa”. Pak Armala melatih “HOW TO”dengan paparan yang sangat detail, best practice.

Pengalaman Beliau memberesi detail kekusutan berbagai perusahaan dan membawanya menjadi perusahaan kelas dunia bisa dipelajari dan diimplementasikan tak hanya oleh Direktur namun juga para tim.

Meski tak semua Direktur (wanna be) menyambut dan mengeksekusi ini apa yang Beliau paparkan.

Instant mentality  dan berlama-lama kasmaran dengan mimpi sepertinya menjadi racun diri…

“Ah…. Lagi over exited tuh sama pak Armala”

Hey…

Kebetulan Saya memang always super excited setiap kali menemukan pencerahan baru. Memilih dan menjalankan peran ini seperti memasuki lorong panjang yang gelap…

Never Ending Improvement

 

Well, Entrepreneurs (wanna be)…

Masuklah ke kamar mandi, cek semua produk yang ada di dalamnya. Lalu coba sebutkan siapa pemilik perusahaan dari produk-produk tersebut ?

Berapa kali mereka manggung setahun ketika bisnis mereka baru seumur jagung dan sizekecil biji jagung ?

 

Trully entrepreneurs  bekerja di jalan sepi, suksesnya dicari bukan menawarkan diri… Sepertinya malu hati, karena di atas langit masih ada langit…

 

——

Catatan ini untuk renungan diri sendiri…

InsyaAllah para pembaca bisa memahami konteks, bukan sekedar membaca konten

Leadership & Team Building, Sufipreneur

UKM, Tak Sekedar Membuka Lapangan Pekerjaan (Menjadi Madrasah Bagi Semesta)

 

Setiap kali diberi kesempatan berbagi kepada teman-teman UKM selalu berupaya menyalakan kesadaran akan tujuan memilih peran yang sama-sama dijalankan ini. Bahwa memiliki usaha telepas dari apapun bidang dan kontennya, sejatinya adalah bentuk upaya kita menjadi bagian dari solusi untuk membuat Indonesia lebih baik lagi.

Salah satu peran penting dari UKM adalah mendidik tim yang ada di bisnis masing-masing. Keberadaan mereka bukanlah sekedar membantu pekerjaan manajerial maupun operasional semata. Sejatinya mereka adalah Amanah dari Allah untuk dididik dan belajar di bisnis kita.

Tentu sudah menjadi lagu lama dan sangat menantang menemukan tim yang tepat. Seringnya justru yang dijumpai adalah calon tim yang meminta gaji tinggi namun lemah kompetensi diri. Namun hal ini rasanya tak perlu lagi menjadi keluhan, kenapa tidak mengambil peran lebih, meyalakan ‘lilin’. Menyadarkan diri sendiri bahwa usaha yang kita kelola adalah madrasah nyata bagi mereka.

 

Kesadaran yang berbeda akan melahirkan perilaku yang berbeda pula.

Jika melihat mereka sebagai orang yang diupah, maka yang diminta adalah tuntutan atas kualitas dan jam kerja saja. Berbeda jika melihat mereka sebagai ‘anak didik’ kita, maka setiap pemilik usaha adalah ‘guru’ bagi tim yang bekerja. Dengan sengaja mendidik mereka, mendampinginya menaiki satu per satu tangga kompetensi diri tanpa kehilangan semangat diri. Sesederhana membekali dengan pelatihan, menyediakan ruang mentoring bahkan coaching. Tak perlu modul-modul tebal dengan bahasa yang sulit dan rumit, cukup dengan kalimat sederhana dan tepat guna.

 

Biasanya sebagian usaha sudah memiliki tools bernama SOP maupun KPI. Sudahkah tim paham apa tujuan disediakannya tools tersebut ataukah mereka masih merasa bahwa itu adalah beban yang perlu dituruti dan dipenuhi tanpa tahu mengapa…?

Jika dahulu KPI adalah alat untuk ‘menakut-nakuti’ tim, memotong hak karena mereka tidak mencapai target, atau alat iming-iming bagi yang dianggap mampu menghasilkan sesuatu, maka sudah saatnya pelaku UKM menggunakan alat ini dengan cara yang memanusiakan manusia.

Tak sekedar menilai dengan angka-angka melainkan menjadikan angka-angka tersebut sebagai alat untuk menapaki ruang-ruang perbaikan diri tanpa henti. Pertanyaannya bukan lagi “Koq bisa begini..?” melainkan “Apalagi yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki diri…?”.

Menjadi madrasah bagi setiap diri yang mendedikasikan waktu dan tenaganya di bisnis kita. Tak perlu merasa rugi atau takut ditinggalkan begitu mereka sudah pintar nanti… Bukankah di kehidupan nanti sangat banyak kebaikan yang akan dipetik dari setiap perbuatan baik yang telah dilakukan untuk mereka…?

 

Jika sikap mental kita adalah bersedia menjadi guru, maka tak ada ruang ketakutan “nanti mereka malah jadi pesaing kita”. Mana ada guru yang terintimidasi dengan kepintaran anak didiknya…?

 

Jika kesadaran ini menjadi kesadaran bersama, bukankah hal ini dapat membawa mereka menjadi sumberdaya Indonesia yang lebih berkompetensi, karena belajar langsung dari kehidupan nyata…? Kompetensi yang seringnya tak mereka dapatkan di bangku sekolah bahkan kuliah…

 

Selamat menjadi ‘Relawan Pendidik’ bagi setiap tim yang bekerja di tempat kita. InsyaAllah ini menjadi langkah nyata dalam perbaikan Indonesia, pengabdian nyata sebagai anak bangsa tanpa perlu menunggu kaya raya berlimpah harta benda. Perbaikan kompetensi diri mereka adalah harta kita yang sesungguhnya…

Kepada teman-teman UKM sering saya berbagi bahwa :

KPI pribadi diri Saya adalah melihat satu per satu tim saya menaiki tangga demi tangga kompetensi diri. Meski ada yang merasa terbebani bahkan terintimidasi, itu tak membuat saya patah hati. Bagi jasad yang sakit, makanan enak memang terasa pahit. Tugas saya pula membantu mereka ‘sembuh’, sampai perbaikan diri terasa kebutuhan, bukan lagi beban”.

 

Membesarnya bisnis, bertambahnya cabang dan berbagai bentuk pencapaian lainnya hanyalah dampak. Tujuan sejatinya bukan di sana, melainkan memanusiakan manusia, membuat mereka berdaya untuk berkarya…

Selamat Hari Relawan Internasional

Celotehan UKM

Penghalang UKM Bertumbuh

Aih, kembali bisa berceloteh…

Iya, ini memang celotehan aja sih… 🙂

Pernah mendengar soal Value/ Nilai/ Budaya perusahaan (organisasi) kan yha…?

Pada punya ini ga…? Lalu seluruh warga di organisasi tersebut pada paham dan sejalan ga…?

Karyawan/ tim yang kesehariannya ga sejalan dengan value perusahaan, baik itu di tempat kerja ataupun di luar pekerjaan, sejatinya sedang berperan sebagai orang yang sekedar numpang hidup di perusahaan itu loh…

Ya sekedar biar bisa menghasilkan uang, mengisi waktu atau supaya ga dianggap pengangguran.

Lalu, pentingkah untuk setiap pimpinan ataupun owner untuk memastikan budaya perusahaan itu menjadi the way of life nya seluruh tim..?

Penting ga penting sih…

Penting bagi owner yang percaya bahwa tanggungjawabnya bukan sekedar memastikan omset dan profit naik. Tapi juga memastikan manusia di dalamnya bertumbuh (termasuk dirinya sendiri)

Ga penting, bagi owner yang memang menganggap tim sebagai objek, sebagai mesin, robot atau buruh. Dia hanya memandang :

“yang penting kerjaan tu orang beres, hidup dia mau seperti apa ya ga urusan saya lah”

Owner tipe abai begini bolehlah disebut sebagai owner era revolusi industri. Orang yang hanya mementingkan produktifitas, yang penting SOP (kaku dan membosankan) itu dipatuhi. Memandang karyawan sebagai buruh yang melinting rokok. Dalam kurun waktu tertentu mesti selesai sesuai angka yang ditetapkan perusahaan.

Parahnya lagi, owner ala revolusi industri ini mengandalkan motivasi ekstrinsik untuk menaikan produktifitas dan menertibkan karyawannya. Hubungan kerjanya sebatas “JIKA – MAKA”. Transaksional aja.

“Jika kamu kerja 10, itu memang tanggungjawabmu, jika lebih dari 10 maka kamu dapatkan bonus”.

Karyawan hidup dalam iming-iming ataupun punishment.

Serba jika – maka.

Jadul banget ini…

Jaman revolusi industri sih cocok kerja begini. Karena fokusnya memang berproduksi bukan berkreasi. Karyawan pun mau aja menerima situasi ini. Ya, lama-lama diiming-imingi memang mematikan motivasi internal…

Sudah seperti orang yang kecanduan…

Mirip-mirip dengan perlakuan orang tua yang suka mengiming-imingi anak :

“Kalau kamu ranking 1, nanti papa/mama belikan mainan”.

Kasian yha…

Balik ke persoalan budaya perusahaan.

Bagi owner yang hidup selaras dengan zaman kreatif saat ini, ga akan rela jika timnya bekerja ala robot atau ala buruh kasar, tak peduli di level mana pun si tim itu. Owner akan berupaya keras dan konsisten menumbuhkan timnya agar nyala kompetensi problem solver (kreatif) dalam diri tim tersebut. Lelah loh jika terus-terusan bekerja ala tom & jerry (walaupun lucu untuk dijadikan tontonan).

Perusahaan akan ‘hidup’ jika manusia-manusianya hidup dan termanusiakan. Tapi memang ini ga mudah, jauh lebih mudah untuk bikin sistem termonitor ala robot gitu (eh, kabarnya robot juga udah ada yang bisa berempati). Menumbuhkan mensyaratkan cara-cara yang bertolak belakang dengan cara kebanyakan.

Punish dan reward ga berlaku, yang berlaku adalah konsekuensi dan dukungan. Bukan iming-iming seperti kita memperlakukan kucing yang dikasi lihat ikan asin. Kasian jika yang aktif hanya animal brain nya aja. Lets help human as a human.

Kan ga mau yha kalo nanti ditanya “apa yang sudah kamu lakukan dengan perusahaanmu?”

lalu menjawab “Saya sudah berhasil menambah omset dan profit dengan cara merobotkan manusia”. Hiksss…

“Lah, jadi ga boleh nih menaikan omset dan profit?

Emang kita badan amal, badan sosial…???”

Rangga… Kamu jahat kalo hanya memandang manusia sebagai objek yang diperas.

Kita bisa banget mencapai tujuan bersama namun dengan cara-cara yang manusiawi, cara-cara yang jauh lebih sesuai jaman dan menjawab tantangan zaman. Ini zaman kreatif bukan zaman revolusi industri.

Saat bekerja dengan cara-cara yang lebih menumbuhkan, maka orang-orang yang ada di dalam sana akan jauh lebih berperan dan termotivasi secara internal. Mereka hidup, mereka sejalan dengan budaya perusahaan baik sedang berkantor ataupun di luar kantornya. Spirit perusahaan menjadi spirit bersama. Cita-citanya menjadi cita-cita bersama. Orang-orang yang ada di dalamnya bernuansa sama. Perhatian pada proses dan karya, bukan sekedar bekerja.

So, as a owner…

Jangan hanya melotot jika angka-angka tak tercapai… Tapi melotot dan ‘galau’ juga lah saat value/ budaya tim tidak sejalan dengan budaya di perusahaan. Di tempat kerja mendorong tumbuhnya kolaborasi, tapi hari-hari status facebook tim malah alergi dengan yang berbeda darinya.

Budaya perusahaan mendorong niai-nilai integritas, tapi masih hobi mencari insentif lainnya dengan cara-cara yang rela menandatangani sejumlah 10 walau yang diterima hanya 8.

“Ga apa-apa deh, yang penting dapat tambahan”. Rela uang begituan dimakan…? Hiks…

Budaya perusahaan mendukung tumbuhkan kecerdasan diri, tapi status tim di sosmed banyak share-share hoax atau komentarin berita dari headline semata, alias malas baca.

Bro… Sist…

Kita bikin usaha tuh ga tau bisa ngurusin sampai kapan…

Tetiba kena time out… rela perusahaannya diurusin sama jiwa-jiwa yang menjalani dualisme kehidupan begitu…?

Yuk, ambil peran sebagai “orang tua” yang mendidik dan menumbuhkan tim kita.

Mereka datang (dikirim Tuhan) kepada kita bukan karena sebuah kebetulan.

Itu juga amanah penting yang perlu diurus sungguh-sungguh…

Selamat mengarungi 2017 yang dikabarkan lumayan menantang. Budaya tangguh di perusahaan semakin diperlukan yha… UKM wajib bermimpi besar dan bekerja dengan standar perusahaan besar.

*SalamBerkarya

*KibasJilbab

======

Tips UKM

Leadership & Team Building

Pusing Karyawan Bertingkah? PECAT SAJA ?

Hari ini mendapat inspirasi yang bagus tentang respon owner sebuah usaha yang mendapat komplain konsumen yang kecewa dengan pelayanan karyawannya. Bahwa karyawan yang “bertingkah” tersebut sudah di-pe-cat… heheheheee…

Saya sedang membayangkan betapa sibuk bagian HRD (jika ada) yang bolak balik merekrut anggota baru dan memecat setiap kali ada yang bermasalah.

Solusinya terkesan instan sekali.

Continue Reading