Leadership & Team Building, Wanita & Bisnis

Orang Tua = Penguasa Anak…?

“Anak-anak dilahirkan ke dunia bukan untuk dijajah dan dikuasai, melainkan untuk dididik dan dimerdekakan”

Nemu quote ini di twitter…. Maknanya dalam banget, sebagai ortu mungkin kita merasa bahwa kitalah penguasa anak anak yg kita lahirkan & besarkan. Merasa telah berjasa dan berkorban segalanya bagi mereka.

Rasa ini seringnya berujung pada penguasaan ortu terhadap anak secara lahir bathin. Anak-anak tak diizinkan menjadi diri mereka sendiri. Orang tua merasa “paling tahu” apa yang terbaik untuk anak-anak mereka tanpa mau mendengar apa yang mereka inginkan. Sedikit argumentasi mereka lalu dianggap melawan dan dicap durhaka. Akhirnya lahirlah anak-anak bermental bebek yang bisanya ya hanya membebek.

Bukan berarti pula kita membiarkan anak-anak bicara dan berargumentasi tanpa etika. Ortu mestinya mampu membantu mereka untuk menjadi sosok yang berpikiran kritis namun dengan attitude yang baik. Masih ingatkan beberapa ulasan tentang kekerasan seksual pada anak…? Salah satu penyebab adalah karena anak tak diajarkan untuk berhak bersuara kepada orang yang lebih dewasa, ortu seolah-olah penguasa tunggal anaknya.

Setelah melewati masa kanak-kanak, ‘prosesi’ penguasaan orang tua ini berlanjut. Ketakutan tanpa membangun komunikasi yang baik dengan anak menjadi penyebab si remaja merasa dikekang dan akhirnya melawan. Sudah sering kita dengar berita kenakalan remaja… iya… yang nakal remaja… orang tuanya apa kabar…????

Yuk kita lanjut ke tahapan dewasa (masa si anak bekerja/ berkarya dan berumahtangga). Orang tua masih enggan melepas status kekuasaannya. Kita dengar bagaimana rumahtangga anak ikut “dibikin rame” oleh orang tua…?
Bahkan anak harus memilih: mendengarkan orang tua atau kah pasangan…? Kasian ya… ini cukup sering jadi penyebab huru hara rumahtangga. Bahkan ada yang menganut paham “mantan suami/ istri itu ada, mantan orang tua itu ga ada”. Wahhh… wah…. bukankah anak menantu itu menikah atas nama Tuhan…? semudah dan semurah itukah diperbandingkan…?

Tulisan ini didedikasikan untuk para orang tua muda…. Kebanyakan kita meniru bagaimana cara kita dulu dibesarkan. Tak semuanya salah namun tak semuanya benar. Kita tak sedang menghakimi orang tua tapi sedang mendesain dan menjalankan proses membesarkan anak dengan cara terbaik dan sesuai ‘zamannya’. Tuntunan yang tidak baik perlu diputus agar tak menjadi mata rantai yang tak ada habisnya.

Membesarkan anak adalah kewajiban kita, Tuhan berikan kebaikan atas kebaikan ini… Kita tak sedang “berdagang” dengan anak, kurang pantas jika kelak menuntut dan menyebut-nyebut kebaikan yang sudah diberikan kepada mereka, bahkan jika hingga mencap mereka durhaka…. Jangan-jangan kita pun sudah menjadi orang tua yang durhaka…?

Agar kelak kita tak jadi beban bagi anak-anak, ada baiknya diplanningkan masa tua kita sebaik mungkin. Seorang penasehat keuangan Ligwina Hananto di twitternya pernah berujar “banyak pasangan menikah yang tak bisa membeli rumah karena bocor-bocor kecil dalam keuangan mereka”.
Kebocoran kecil ini yang perlu kita antisipasi. Besarkan anak-anak dengan sederhana (bukan berarti pelit). Ajarkan mereka berpikir fungsional. Misal, membelikan sepeda yang harga beberapa ratus ribu…? atau yang harga beberapa juta…? Fungsinya sama namun memang gengsinya yang beda.

Dalam sebuah training saya pernah diajarkan untuk merencanakan masa depan terbaik bagi anak dan bagi masa tua nanti. Suka tidak suka, permasalahan finansial sering menjadi gesekan anak menantu mertua, disamping hal-hal non materi lainnya….

Sederhana dalam mencinta…. yuk sama-sama kita bangun rasa ini, agar menjadi orang tua terbaik, menjadi orang tua yang dicintai anak-anak hingga tua kelak, bukan yang terpaksa dicintai karena mereka takut durhaka…. (Ga mudah… iya… ga mudah… bukak berarti ga bisa 🙂 )

Previous Post Next Post

You Might Also Like